BONE, SULSEL – Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan yang dialami jurnalis CNN Indonesia, Zulkipli Natsir, saat meliput unjuk rasa penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 300 persen di Kabupaten Bone, Selasa 19 Agustus 2025
Dalam tugas peliputannya, Zulkifli justru mengalami perlakuan kasar dari sejumlah oknum TNI.
Ia mendapat tekanan fisik hingga ponsel miliknya dirampas dan rekaman jurnalistik yang tersimpan dihapus paksa.
Padahal, sesuai amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap jurnalis memiliki perlindungan hukum dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
KAJ Sulsel yang merupakan gabungan dari AJI Makassar, IJTI Sulsel, PFI Makassar, dan LBH Pers Makassar menilai insiden tersebut sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap kebebasan pers.
Mereka mendesak agar kasus ini ditangani dengan serius dan diproses secara hukum.
“Tindakan intimidasi ini bukan hanya serangan terhadap individu jurnalis, tetapi juga bentuk ancaman nyata terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi,” tegas KAJ Sulsel dalam pernyataan resminya, Kamis 21 Agustus 2025.
Atas peristiwa ini, KAJ Sulsel meminta agar oknum TNI yang diduga berjumlah enam orang segera diproses hukum sesuai aturan yang berlaku, dan penanganannya dilakukan secara terbuka.
Menurut KAJ, proses hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, apalagi terhadap jurnalis yang kerjanya dilindungi undang-undang.
Mereka menegaskan, kekerasan terhadap jurnalis jelas melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang menyebutkan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghambat tugas jurnalistik dapat dipidana hingga dua tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta.
Karena itu, KAJ Sulsel mendorong agar Zulkipli sebagai korban berani menempuh jalur hukum demi menegakkan keadilan.
Apalagi, Pasal 8 UU Pers menegaskan bahwa jurnalis berhak memperoleh perlindungan hukum. Pasal 4 ayat (1) juga menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia.
“Negara memiliki kewajiban mencegah impunitas atas tindakan kekerasan terhadap jurnalis, serta memastikan kasus-kasus semacam ini ditangani secara serius, cepat, dan efektif,” lanjut KAJ Sulsel.
Mereka menuntut agar intimidasi dalam bentuk apapun terhadap jurnalis dihentikan, khususnya kekerasan fisik oleh aparat negara.
Menurut KAJ, kekerasan oleh oknum TNI terhadap jurnalis yang sedang bertugas adalah pelanggaran berat dan tidak bisa ditoleransi.
Selain itu, aparat penegak hukum maupun TNI diwajibkan untuk menjalankan proses hukum yang transparan serta adil. Tidak boleh ada impunitas bagi pelaku kekerasan.
KAJ Sulsel juga menyatakan solidaritas penuh kepada jurnalis CNN Indonesia yang menjadi korban.
“Negara juga berkewajiban untuk memastikan jurnalis dapat menjalankan tugas profesional tanpa kekhawatiran akan intimidasi atau kekerasan, sesuai amanat UU Pers dan hak asasi manusia. Solidaritas dan dukungan kepada jurnalis CNN Indonesia untuk terus menjalankan tugas jurnalistiknya dengan aman dan bertanggung jawab sesuai etika, tanpa rasa takut,” tegas KAJ Sulsel.
Untuk diketahui, insiden intimidasi dan kekerasan terhadap Zulkipli terjadi saat meliput aksi unjuk rasa berujung bentrok di Kantor Bupati Bone, sekitar pukul 20.00 WITA, Selasa kemarin.
Awalnya aksi unjuk rasa berlangsung aman, namun saat memasuki malam, massa terus menyampaikan aspirasinya dikarenakan pemerintah daerah tak kunjung mengakomodir tuntutan mereka. Aparat yang berjaga di lokasi pun berusaha membubarkan hingga terjadi bentrokan.
Aparat kemanan menembakkan gas air mata ke arah massa. Zulkifli yang sedang di lokasi untuk meliput berusaha menyelamatkan diri dengan masuk ke dalam Kantor Bupati Bone.
Setelah mencuci muka dan meminum air mineral akibat paparan gas air mata yang mengenainya, ia kemudian bergerak menuju area lobi kantor bupati.
Namun di lobi kantor bupati saat telah dijaga ketat oleh aparat TNI dan dinyatakan sebagai area steril. Dalam area tersebut, seorang anggota TNI diketahui mengalami luka di bagian kepala.
Secara spontan sebagai jurnalis, Zulkifli dengan menggunakan telepon genggam tanpa melalui proses cut-to-cut.
Tidak lama kemudian, Zulkifli kembali menyaksikan seorang demonstran yang diamankan oleh dua anggota TNI. Salah satu di antaranya menekan leher demonstran tersebut dengan lengan.
Melihat momen kekerasan yang seharusnya tidak dilakukan terhadap warga sipil yang melakukan aksi coba direkam dengan mengarahkan kamera.
Namun situasi tersebut rupanya tidak diinginkan oleh beberapa anggota TNI di lokasi tersebut, mereka menyadari aktivitas perekaman yang dilakukan oleh Zulkifli. Sekitar lima hingga enam anggota langsung mendekatinya.
Kedua tangan Zulkifli pun ditahan dari kiri dan kanan, sementara lehernya dicekik dari belakang menggunakan lengan oleh anggota TNI di lokasi itu.
Telepon genggamnya kemudian dirampas, dan rekaman yang tersimpan di dalamnya dihapus secara paksa, meskipun jurnalis tersebut sudah memperlihatkan identitas dan seragam liputan.
Seluruh rekaman yang diambil pada saat itu dihapus dari perangkat. Setelah penghapusan dilakukan oleh anggota TNI, telepon genggam dikembalikan kepada Zulkifli.
Namun, beruntung sebagian rekaman masih bisa dipulihkan dari folder sampah perangkat.
Kekerasan fisik baru dihentikan karena adanya anggota TNI yang mengenali Zulkifli.
Walaupun tekanan tetap berlanjut dikarenakan Zulkifli dipaksa duduk bersama Dandim Bone dan sejumlah perwira lain untuk memastikan bahwa rekaman di perangkat telepon selulernya benar-benar sudah dihapus.
Diduga, anggota TNI itu mau memastikan bahwa rekaman pemukulan demonstran tersebar ke publik.
Sepanjang proses tersebut, tidak ada pernyataan permintaan maaf yang disampaikan pihak Kodim Bone.
Sebaliknya, Dandim Bone menegaskan kesiapannya menghadapi jika jurnalis atau Zulkifli memilih menempuh jalur hukum atas peristiwa intimidasi itu. (*)



Tinggalkan Balasan