Luwu Timur, Sulsel – Anggota DPRD Kabupaten Luwu Timur, Prima Eyza Purnama dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menghadiri pertemuan yang digelar Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga pada Senin (8/9/2025) terkait finalisasi deliniasi Matano Geopark dan Sistem Danau Malili. Pertemuan berlangsung di Gedung Ontaleuwu, Sorowako dipimpin langsung oleh Kepala Dinas, Andi Tabacina Akhmad, S.STP., M.Si, ini menjadi momentum penting dalam upaya menegaskan posisi Luwu Timur di panggung pariwisata dan konservasi global.

Dalam forum tersebut, Prima Eyza Purnama menegaskan bahwa Matano Geopark dan Sistem Danau Malili merupakan aset ekologis, historis, dan kultural yang memiliki nilai strategis. Menurutnya, finalisasi deliniasi tidak boleh dipandang sebatas formalitas administratif, melainkan harus menjadi pijakan strategis dalam melindungi, mengembangkan, sekaligus memanfaatkan potensi kawasan secara berkelanjutan. Ia menekankan perlunya memastikan seluruh kawasan penting yang memiliki nilai geologi, biodiversitas, dan budaya lokal benar-benar masuk dalam cakupan deliniasi, agar tidak ada area vital yang terlepas dari perlindungan formal.

Lebih jauh, ia menyoroti pentingnya sinkronisasi antara hasil deliniasi dengan dokumen tata ruang daerah maupun regulasi nasional.
“Jika tidak konsisten dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur, RTRW Provinsi Sulawesi Selatan, hingga aturan pusat, maka akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di masa depan, baik antara masyarakat, pemerintah, maupun pihak swasta,” tutur Prima Eyza. Kejelasan batas zona inti, zona penyangga, dan zona pengembangan juga dinilainya mutlak agar tidak terjadi tumpang tindih perizinan lahan.

Dalam pandangannya, pelibatan masyarakat lokal harus menjadi perhatian utama.
“Penetapan Geopark, tidak boleh meminggirkan masyarakat sekitar, melainkan justru harus memberi manfaat langsung, terutama melalui pengembangan ekowisata, UMKM, hingga jasa lingkungan,” Prima Eyza menegaskan. Ia mendorong agar pemerintah melakukan konsultasi publik dan sosialisasi massif, sehingga masyarakat dapat merasa memiliki dan secara kolektif menjaga kawasan ini.

banner 920x450

Eyza juga mengingatkan perlunya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Ia menekankan, Geopark tidak boleh hanya menjadi simbol prestise semata, tetapi harus menjaga fungsi ekologisnya agar tidak terkikis oleh eksploitasi yang berlebihan.

Di sisi lain, ia juga mengingatkan tentang nilai riset dan edukasi yang melekat pada Matano Geopark dan Danau Malili. Dengan potensi besar sebagai habitat endemik dan situs geologi dunia, kawasan ini, menurutnya, harus dijadikan pusat penelitian dan pendidikan internasional melalui kemitraan dengan perguruan tinggi, lembaga riset, dan komunitas ilmiah. “Lebih dari sekadar pariwisata, branding Geopark juga dapat menjadi diplomasi lingkungan yang menempatkan Luwu Timur di mata dunia sebagai destinasi unggulan dengan citra positif,” tambahnya.

Terkait kelembagaan, Eyza menilai deliniasi harus dibarengi dengan pembentukan badan pengelola yang kuat, transparan, dan akuntabel. Lembaga ini nantinya harus mampu mengkoordinasikan pemerintah, akademisi, masyarakat, dan pihak swasta, serta memiliki kejelasan dalam hal sumber pembiayaan, baik dari APBD, APBN, maupun peluang pendanaan internasional. Tanpa tata kelola yang solid, katanya, deliniasi hanya akan berakhir sebagai peta tanpa makna praktis.

Menutup pandangannya, Eyza memberikan catatan kritis agar finalisasi deliniasi tidak dilakukan secara terburu-buru hanya untuk mengejar pengakuan Geopark. Kajian teknis, hukum, dan sosial harus benar-benar matang, termasuk memperhatikan potensi konflik kepentingan dengan sektor lain, khususnya pertambangan. “Kawasan Geopark harus berfungsi sebagai ruang konservasi, edukasi, sekaligus pengembangan ekonomi rakyat yang berkelanjutan, sebagaimana juga termuat dalam RPJMD Luwu Timur 2025–2029”, tutup beliau di akhir penyampaiannya pada forum tersebut.