Makassar, Sulsel – Dua perempuan tersangka kasus penganiayaan di Luwu Timur akhirnya mendapatkan penghentian penuntutan setelah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan menyetujui penyelesaian perkara melalui skema Keadilan Restoratif (Restorative Justice/RJ).

Persetujuan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Kejati Sulsel, Dr. Didik Farkhan Alisyahdi, dalam ekspose perkara yang digelar di Kejati Sulsel, Selasa 4 November 2025.

Dalam kegiatan itu, Didik didampingi Wakajati Sulsel Prihatin, Aspidum Teguh Suhendro, Koordinator Koko Erwinto Danarko, serta jajaran pidana umum (pidum) lainnya.

Ekspose dilakukan secara hybrid. Pihak Kejaksaan Negeri Luwu Timur, termasuk Kajari Luwu Timur Berthy Oktavianes Zakarias Huliselan, Kasi Pidum, jaksa fasilitator, dan jajaran, mengikuti kegiatan secara virtual dari Kantor Kejari Luwu Timur.

banner 920x450

Perkara yang diusulkan untuk dihentikan penuntutannya ini merupakan kasus penganiayaan yang menjerat dua tersangka perempuan masing-masing berinisial AR (41) dan SI (39), terhadap korban FP (39).

Kasus tersebut bermula pada 25 Maret 2025, ketika AR mendatangi rumah korban di Desa Tabarano, Kecamatan Wasuponda, dengan emosi memuncak setelah menerima pesan WhatsApp dari korban yang menyebutnya “orang bodoh.”

Dalam amarahnya, AR langsung mencekik leher korban dengan tangan kanan sambil mendorong korban hingga tersandar di dinding tembok rumah.

Situasi itu sempat dilerai oleh saksi berinisial ON yang menarik AR menjauh dari korban.

Namun, belum sempat suasana mereda, tersangka kedua SI datang dan terlibat adu mulut dengan korban terkait persoalan utang piutang yang belum selesai di antara keduanya.

Pertengkaran memanas hingga SI mengayunkan tangan kirinya, dan kuku jarinya mengenai pipi kanan korban, menimbulkan luka gores di bagian wajah.

Akibat kejadian tersebut, korban FP mengalami luka melingkar sepanjang 10 sentimeter di leher, serta beberapa luka tertutup di pipi kanan dan sekitar hidung.

Kejari Luwu Timur kemudian mengajukan penghentian penuntutan berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif, sesuai dengan ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, yang ancaman pidananya tidak lebih dari lima tahun.

Dalam pertimbangannya, Kejari menilai para tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan bukan residivis.

Hal itu dibuktikan melalui hasil penelusuran Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) di empat pengadilan negeri se-Luwu Raya.

Selain itu, korban telah memberikan maaf dan menandatangani surat kesepakatan damai di hadapan pihak berwenang.

Perdamaian ini juga mendapat dukungan dari aparat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama setempat.

Sebagai bagian dari sanksi sosial dalam penyelesaian Restorative Justice, kedua tersangka akan menjalani kegiatan pembersihan di Balai Desa Tabarano dan Posyandu Lansia Permata di desa yang sama.

Kajati Sulsel Didik Farkhan mengatakan, keputusan ini telah memenuhi seluruh syarat dan ketentuan dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif.

“Dengan adanya perdamaian diharapkan bisa memulihkan keadaan jadi seperti semula. Telah memenuhi ketentuan Perja 15, atas nama pimpinan, kami menyetujui permohonan RJ yang diajukan,” katanya.

Ia mengungkapkan, seluruh proses administrasi perkara harus segera diselesaikan oleh Kejari Luwu Timur, termasuk pembebasan kedua tersangka setelah keputusan RJ disetujui.

“Saya berharap penyelesaian perkara zero transaksional untuk menjaga kepercayaan pimpinan dan publik,” tutupnya.